LANGIT sore itu seperti kanvas yang diwarnai palet jingga dan ungu. Senja yang menggantung di cakrawala menyapu jalanan Trans Kalimantan di Kilometer 9, Basarang, Kabupaten Kapuas.
Di antara deru kendaraan yang berlomba dengan waktu, seorang pemuda melangkah pelan. Sandal jepitnya yang sudah usang berdebu, ransel tua di punggungnya menggantung seperti beban kerinduan.
Wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari menyiratkan keletihan, tetapi sorot matanya tetap memancarkan tekad. Dia adalah satu dari sekian banyak pejuang mudik yang rela menempuh risiko demi bisa berkumpul keluarga di momen lebaran.
Di teras sebuah masjid kecil di pinggir jalan, Rido, seorang pria yang baru saja menjenguk ibunya, memperhatikan pemuda itu. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya berjalan: setiap langkahnya seperti ditarik oleh gravitasi kelelahan, tetapi ritmenya tetap teratur, seolah-olah sedang menghitung jarak yang tersisa menuju rumah.
Dengan rasa penasaran, Rido mendekat. "Mau ke mana, Bang?" tanyanya.
"Ke A5, Dadahup," jawab pemuda itu dengan suara parau, seolah tenggorokannya kering oleh debu dan jarak.
"Dari mana?"
"Palangkaraya."
Rido tertegun. Palangkaraya ke Dadahup adalah jarak sekitar 200 kilometer—perjalanan yang bisa ditempuh dalam beberapa jam dengan sepeda motor. Namun, pemuda ini memilih berjalan kaki, menumpang pikap pengangkut ayam, dan mengandalkan belas kasihan orang lain karena keterbatasan ekonomi.
Tanpa banyak berpikir, Rido menawarkan tumpangan sampai ke Kota Kuala Kapuas dengan motornya. Pemuda itu mengangguk, lalu menaiki motor tua yang melaju pelan membelah senja. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang.
"Saya berangkat kemarin. Kadang jalan kaki, kadang ada yang memberi tumpangan," ujarnya sambil menatap jalan lurus yang diterangi cahaya jingga matahari. Ranselnya hanya berisi beberapa helai pakaian dan sebotol air.
"Sudah lama tidak bertemu paman. Dia keluarga dekat satu-satunya," lanjutnya. Kata-katanya singkat, tetapi sarat makna. Bagi pemuda ini, mudik bukan sekadar perjalanan, melainkan perjuangan.
Saat motor mendekati Jembatan Pulau Telo, pemuda itu membuka suara dengan ragu-ragu, "Jika berkenan, saya minta Rp15 ribu buat bekal di jalan."
Rido menatapnya. Uang itu mungkin hanya setara dengan segelas kopi di kota, tetapi bagi pemuda ini, itu adalah tiket harapan bekal perjalanan yang harus dia lanjutkan. Tanpa banyak bicara, Rido mengulurkan sejumlah uang. "Ini buat bekal. Tak banyak, tapi semoga membantu," katanya.
Pemuda itu memegang erat uang itu, lalu berbisik, "Semoga Tuhan membalas kebaikan Abang."
Rido menurunkan pemuda itu dekat sebuah musala, "Abang bisa buka puasa dan salat di sini sebelum melanjutkan perjalanan," kata Rido.
Mereka berpisah sebelum magrib, Rido memberi pesan: "Cari tumpangan ke Dadahup di Bundaran Besar. Biasanya sopir baik hati kalau lihat orang mau mudik."
Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di teras musala sambil menatap langit yang mulai gelap.
Rido melanjutkan perjalanan, tetapi hatinya tertinggal di musala itu.
"Dia mengingatkan saya tentang makna sebenarnya dari mudik: bukan tentang seberapa cepat atau nyaman, tapi tentang seberapa besar hati ingin sampai," ujar Rido.
Kisah pemuda pejalan kaki itu mungkin hanya satu dari ribuan drama mudik yang tak tercatat. Di balik gemuruh konvoi kendaraan dan tiket yang habis terjual, ada wajah-wajah seperti dia: pejuang tanpa tanda jasa yang mengukur jarak dengan ketulusan.
Mudik bukan sekadar tradisi tahunan. Ia adalah cermin dari harga sebuah keluarga, bukti bahwa kerinduan bisa mengubah debu menjadi jalan, dan langkah kaki menjadi doa.
Artikel ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh seorang sahabat, yang telah disunting dan dikemas ulang.[zulkifli]
Tags
Humaniora