TAMIYANG LAYANG – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Barito Timur (Bartim) gelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait permasalahan antara sebagian masyarakat Desa Muara Plantau, Kecamatan Pematang Karau, dengan pihak perusahaan perkebunan sawit PT. Heroes Green Energy (HGE) di ruang rapat DPRD Bartim, Selasa (30/4/2024).
Ketua DPRD Bartim, Nursulistio, S.Pdi usai rapat saat diwawancarai awak media mengatakan bahwa pihaknya telah menerima tuntutan dan penjelasan dari pihak warga desa Muara Plantau dan PT. HGE.
“Jadi ada 4 poin tuntutan, pertama adalah tindak lanjut mediasi sebelumnya di Kecamatan dan tadi sudah ditanggapi oleh ibu Camat bahwa menunggu jadwal,” ucap Nursulistio.Lebih lanjut dijelaskan Nursulistio, kemudian yang kedua masalah pencemaran lingkungan dan ketiga kerusakan jalan. Dan kita minta kepada dinas terkait melalui DLH untuk uji pencemaran lingkungan dan juga dinas Perhubungan untuk melakukan kroscek perijinan dan kerusakan jalan, terangnya.
“Kemudian yang ke empat adalah masalah lahan, yang mana lahan itu menurut cerita yang disampaikan tadi bahwa ada tanah adat yang disepakati untuk dibebaskan oleh desa Muara Plantau, tapi dari warga masyarakat desa ada yang setuju dan tidak setuju,” terang Nursulistio.
Nursulistio juga menerangkan bahwa akar permasalahan setelah didengarkan bersama-sama ternyata permasalah terletak di internal mereka sendiri di desa. Dan setelah dialog di RDPU dan disampaikan ke Kepala desa namun Kepala desa meminta waktu satu – dua minggu akan berkoordinasi dengan masyarakat yang disampaikan secara lisan saat RDPU.
Dalam pertemuan tersebut, ada beberapa point permasalahan yang menjadi bahasan cukup panas. Yaitu pertanyaan tentang sengketa lahan yang belum terselesaikan, dugaan pencemaran lingkungan, dan kerusakan jalan Pemda.
Menurut H Andi, salah satu perwakilan warga menyampaikan kronologi bahwa ada 78 orang yang menolak lahannya dibebaskan karena harga yang ditawarkan sangat minim, yaitu antara Rp2.500.000 – Rp6.000.000 per hektare.
“78 dari 455 Kepala Keluarga (KK) menyatakan tidak setuju, karena menurut mereka harganya sangat tidak sesuai. Dan salah satu alasan penolakan adalah karena lahan mereka hendak dialihkan untuk kawasan cagar alam,” sebut Andi saat menjelaskan permasalahan tersebut.
Tidak hanya itu, Andi dan warga desa juga menyebutkan adanya pencemaran yang diduga dilakukan oleh pihak perusaan serta aturan yang berlaku terkait letak tumbuh perkebunan sawit. Begitu juga aktifitas perusahaan yang dianggap telah menggunakan jalan tidak pada tempatnya.
“Yang kami angkat di RDPU ini adalah permasalahan limbah. Permasalahan lingkungan hidup yang kami lihat dalam undang-undang bahwa disitu tidak boleh ada penanaman sawit didalam genangan air, tapi sekarang PT. HGE menanam bahkan di gambut, di sungai dan di danau, bahkan anak-anak sungai kami ada yang potong dan dialih fungsikan,” ungkap Andi setelah RDPU.
mempertanyakan kepada pihak Dinas Lingkungan Hidup terkait aturan yang diduga melanggar undang-undang. Dengan berbagai cara yang ditempuh, Andi dan warga akan menuju jalur hukum.
Sementara General Manager PT. HGE Najamudin, menampik beberapa tudingan. Menurutnya yang berkaitan dengan indikasi pencemaran jika indikatornya adalah keruhnya air sungai, maka informasi dari warga Desa M Plantau sendiri bahwa air Sungai Karau ini seringnya berwarna keruh.
“Kami menggarap lahan itu di wilayah izin operasional. Seandainya ada yang di luar, itupun harus ada dokumentasi permintaan mungkin warga atau desa yang berkepentingan,” ucap Najamudin saat diwawancarai awak media usai RDPU.[adv]