(Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Pekalongan, Jawa Tengah)
ANAK, sebagai salah satu aset negara, kelak akan menjadi penerus cita-cita dan harapan bangsa. Namun dalam perjalanannya, terkadang anak harus berhadapan dengan suatu kendala atau persoalan. Salah satunya, perbuatan yang melanggar pidana.
Sebagian kalangan masyarakat, tentunya masih banyak yang belum mengerti dan memahami proses penanganan perkara anak. Akibatnya, tak jarang muncul penilaian yang beragam.
Penanganan perkara pidana terhadap ABH (Anak yang Berhadapan dengan Hukum) bersifat khusus. Berbeda dengan penanganan perkara terhadap usia dewasa, sehingga diatur dalam peraturan tersendiri.
Pengertian ABH mencakup anak yang berkonflik dengan hukum, anak sebagai korban, dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana.
Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana.
Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun, yang dapat memberikan keterangan demi kepentingan proses hukum. Mulai tingkat penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami.
Data Bapas (Badan Pemasyarakatan) Pekalongan menunjukkan, selama tahun 2020 tercatat ada 52 anak yang disidangkan, dan 71 kasus anak yang diupayakan Diversi.
Penanganan ABH didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus, antara lain sebagai berikut:
1) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
3) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun;
5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak;
6) Peraraturan Kapolri Nomor 06 tahun 2019, tentang Penyidikan Tindak Pidana; dan;
7) Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : SE-007/A/JA/10/2016, tentang Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan.
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Mulai tahap penyidikan, sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana.
Dasar yang digunakan adalah perlindungan, keadilan, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan, dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Pendekatan yang sangat penting untuk diterapkan dalam penanganan terhadap ABH adalah pendekatan Keadilan Restoratif.
Berdasarkan UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Pendekatan restoratif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Pendekatan restoratif meliputi penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, rasa memaafkan, tanggung jawab serta membuat perubahan.
Diversi merupakan salah satu dari upaya restorasi justice yang saat ini sedang dilaksanakan di Indonesia. Dimana, proses pidana terhadap anak dapat diupayakan agar tidak sampai masuk ke dalam peradilan pidana.
Oleh karena itu, diversi diartikan sebagai upaya menyelesaikan perkara anak di luar proses perkara peradilan pidana. Dalam diversi inilah, upaya dari restorasi justice dilakukan.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 11 Tahun 2012, konsep diversi dalam Peradilan Pidana Anak bertujuan untuk: 1) Mencapai perdamaian antara korban dan anak; 2) Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan; 3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 4 ) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan 5) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Pelaksanaan Diversi Anak di Tingkat Penyidik Polri
Diversi dapat dilaksanakan dalam tindak pidana yang dilakukan sesuai pasal 7 (2) UU Nomor 11 tahun 2012, yaitu: 1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2) Bukan merupakan pengurangan tindak pidana.
Selanjutnya diversi dapat diterapkan dengan syarat: 1) Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun; 2) Tindak pidana dengan hukuman kurang dari 7 (tujuh) tahun; 3) Tindak pidana yang dilakukan berupa pelanggaran; 4) Tindak pidana yang dilakukan berupa tindak pidana ringan; 5) Tindak pidana tanpa korban, dan; 6) tindak pidana yang menyebabkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari upah minimum provinsi.
Musyawarah diversi (Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014) adalah musyawarah antara para pihak yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya, untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.
Musyawarah Diversi dibuka oleh fasilitator diversi, yaitu penyidik Polri, jaksa dan hakim. Sedangkan pembimbing kemasyarakatan bertindak sebagai wakil fasilitator.
Adapun tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitator memberikan kesempatan kepada: 1) Anak pelaku untuk didengar keterangan perihal dakwaan/perbuatan yang telah dilakukannya; 2) Orangtua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan; 3) Korban/anak korban/orangtua/wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan; 4) Tanggapan berbagai pihak terkait, yang dilibatkan dan dapat memberikan masukan yang positif bagi anak.
Penting menjadi catatan bahwa fungsi fasilitator dan wakil fasilitator, hanya menjembatani kedua pihak. Tidak ada tendensi atau kepentingan apapun bagi masing masing pihak.
Berhasil atau tidaknya kesepakatan diversi diserahkan kepada kedua pihak. Jika berhasil maka akan dibuatkan berita acara dan kesepakatan diversi, dan hasilnya akan diserahkan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk dibuatkan Penetapan.
Jika tidak berhasil, maka proses akan dilanjutkan ke jalur peradilan pidana. Dalam pasal 13, UU Nomor 11 tahun 2012 dikatakan proses peradilan pidana dilanjutkan jika: 1) Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; 2) Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari diversi dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Mencapai perdamaian antara korban dan anak; 2) Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; 3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 4) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan 5) Menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.
Hasil kesepakatan diversi antara lain: 1) Perdamaian yang dapat berupa dengan atau tanpa ganti kerugian; 2) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; 3) Keikutsertaan dalam pendidikan/pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial); dan 4) Pelayanan masyarakat.
Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang bertanggung-jawab dalam pelaksanaan Diversi untuk diterbitkan penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara. Bilamana tidak tercapai, maka proses peradilan pidana dilanjutkan.
Dalam pasal 14 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatannya berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab disetiap pemeriksaan.
Selama proses diversi sampai pelaksanaan, kesepakatan Pembimbing kemasyarakatan melaksanakan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan dalam waktu yang ditentukan, maka pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat yang bertanggung jawab di tingkat tersebut, dan ditindaklanjuti paling lama 7 (tujuh) hari.
Demikian uraian tentang diversi secara singkat. Semoga bermanfaat bagi kita semua.***
Tags
Humaniora