Suparno, fotografer senior yang dikenal sebagai spesialis fotografi bangunan warisan sejarah. | Foto: Sahrudin
OLEH para tetangga, Suparno dikenal sebagai penjual bakmi goreng. Di teras depan dan di samping rumah, ia buka usaha kuliner itu sejak 1990 silam. Pelanggannya banyak. Koran-koran terkenal sudah pernah menulis tentang warung bakmi itu.
Tapi sebenarnya, jauh sebelum mendirikan warung bakmi "Pak Parno", lelaki kelahiran Sleman, Yogyakarta, 5 Juni 1952 ini sudah lebih dulu menekuni profesi lain. Profesi yang samasekali tak punya hubungan dengan bakmi: fotografi warisan budaya.
Menggeluti bidang ini, membuat Suparno harus terbang ke Sumatera, Bali, Maluku dan daerah-daerah lain, untuk memotret rumah-rumah adat, candi dan situs-situs bersejarah, serta cagar budaya lainnya.
"Buat penelitian," kata pensiunan Balai Konservasi Peninggalan Borobudur ini, beberapa waktu lalu. Kami menemui Suparno di rumahnya, di RT 4 RW 4 Kapling Janan, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Ia sering terlibat dalam sejumlah kegiatan penelitian, yang berkaitan dengan masalah warisan budaya. Foto-foto karya dia, banyak dipakai untuk keperluan pembuatan buku-buku heritage.
Dalam satu buku saja, potret karya Suparno yang dipakai rata-rata lebih dari seratus file. Ia memotret Candi Borobudur dan beberapa candi lain sejak pertengahan 1970an.
Salah satu buku yang banyak memuat potret-potret karya Suparno, adalah "Borobudur, Majestic Mysterious Magnificent", terbitan PT (Persero) Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (2011). Buku setebal 272 halaman ini telah beredar di banyak negara.
Di Asia Pasific, buku ini didistribusikan oleh Berkeley Books Pte Ltd; di Indonesia oleh PT Java Books Indonesia; sedangkan di Jepang, Amerika Utara, Amerika Latin dan Eropa oleh Turtle Publishing.
Ratusan hasil jepretan Suparno, juga bisa dilihat di buku "Magical Prambanan", terbitan PT (Persero) Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko dan BAB Publishing Indonesia (Februari, 2013).
Selain itu juga di buku "Top 100 Cultural Wonders of Indonesia", yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2012); serta "World Heritage Sites and Living Culture of Indonesia", dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2012).
"Pernah juga kerja tim untuk buku Seribu Candi dan buku tentang rumah-rumah adat di Indonesia," kata Suparno. Tergabung dalam proyek itu, ia harus datang ke berbagai daerah di Nusantara.
Perkenalan Suparno dengan fotografi warisan budaya bermula pada tahun 1973. Kala itu, ia ikut dalam proyek restorasi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bersama Organisasi Pendidikan,
Keilmuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO.
Pada saat bersamaan, ia diikutkan dalam kursus heritage architecture di Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Tugas Suparno dalam pekerjaan ini adalah mendokumentasikan semua hal selama proyek berlangsung. Baik dalam proses chemical-archeology, maupun techno-archeology-nya.
Ia juga kudu mendokumentasikan hal-hal yang sifatnya umum. Kala itu, Suparno kerja bergantian dengan 2 kawannya, Budi dan Wahyuditomo.
Proyek ini diikuti Suparno hingga tahun 1976. Setelah pemugaran rampung, Budi dan Wahyuditomo harus kembali ke kantor asalnya, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Belakangan, lembaga ini menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
Sedangkan Suparno, tetap dipertahankan di Candi Borobudur. Ia berkantor di sebuah bangunan di barat laut Candi Borobudur. Sekarang tempat ini dipakai untuk pos keamanan.
Tahun 1977, Suparno diangkat jadi pegawai negeri sipil dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nama Suparno tak bisa lepas dari keberadaan Punthuk Setumbu, puncak sebuah bukit yang terletak beberapa kilometer di sebelah barat daya Candi Borobudur. Dari puncak bukit di Dusun Kurahan, Desa Karangrejo itu, wisatawan dan penggemar fotografi suka memotret Candi Borobudur berselimut kabut.
Punthuk Setumbu "ditemukan" oleh Suparno pada 2004 silam. Saat itu, ia sedang betakziah ke salah satu kerabatnya. Penasaran ingin melihat Candi Borobudur dari puncak bukit Setumbu, Suparno kemudian mendakinya. Sendirian, tanpa alas kaki.
Waktu itu, untuk menuju Punthuk Setumbu, belum ada akses jalan seperti sekarang. "Ternyata apik banget!" kenang Suparno.
Ia kemudian memberi tahu rekan-rekannya, pehobi fotografi yang tergabung dalam PFAM atau Perhimpunan Foto Amatir Magelang. Ia kabari fotografer-fotografer senior seperti Tjioe Sungkono, Herry Wiyanto dan orang-orang PFAM lainnya. Tapi tak langsung mendapat respons.
Baru sekitar setahun kemudian, mereka meminta Suparno untuk diantar ke Punthuk Setumbu. Mereka penasaran, ingin melihat Candi Borobudur berselubung kabut. Liem Wan King atau David Hermanjaya, bos New Armada Group, ikut bergabung di sana.
"Saya pinjam kamera kantor. Wan King kasih saya dua roll film untuk motret," kenang Suparno. Dalam sebuah lomba foto, potret Candi Borobudur berselimut kabut karya salah satu anggota PFAM, berhasil jadi juara.
Punthuk Setumbu, sejak saat itu, makin dikenal banyak orang. Sebelum masa pandemi, hampir setiap hari, puluhan wisatawan dan penggemar fotografi berdatangan ke puncak bukit itu.
Selain Punthuk Setumbu, kata Suparno, sebenarnya ada lagi bukit yang bisa didaki kalau ingin memotret Candi Borobudur. Yaitu sebuah bukit di Dusun Kedok, Desa Ngadiharjo, Kecamatan Borobudur.
Dari bukit Kedok, Candi Borobudur akan terlihat berada di bawah Gunung Merbabu. Sedangkan di Punthuk Setumbu, Borobudur berada di selatan Gunung Merapi. "Akses jalan menuju bukit Kedok juga lebih mudah," terangnya.
Bukan Oktober 2013, Suparno mendapat piagam penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia. Ia dinilai berjasa mengenalkan dan mempromosikan beragam potensi wisata di kawasan Borobudur. Piagam ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata saat itu, Firmansyah Rahim.[sahrudin]
Tags
Humaniora