Petenis Perancis, Suzanne Amblard (1896-1980) dan saudara kembarnya Blanche Amblard (1896-1974). Tradisi memakai rok panjang masih terjaga di awal 1900an. | Foto: Grandslam History.
MAKIN ke sini, segala sesuatu rasanya makin terbuka saja. Era keterbukaan itu bukan cuma soal informasi, tapi juga kostum petenis putri. Rok terutama.
Lihat saja atlet-atlet tenis wanita dunia saat mereka berlaga. Entah di Wimbledon, Australia Terbuka, US Open, atau apalah.
Dalam posisi bagaimanapun, celana dalam mereka akan lebih sering kelihatan. Meski sebenarnya, dibalik rok mini itu mereka masih pakai celana dobel. Fungsinya, untuk menyimpan bola.
Tulisan ini, sudah tentu bukan untuk membahas aurat. Karena selain tenis, masih banyak cabang olahraga yang kostumnya tak kalah terbuka. Voli pantai, ice skating, artistic gymnastics, lompat indah, renang, dan beberapa lainnya.
Sebelum 1920an, kostum petenis putri sebenarnya masih relatif tertutup. Bagian kulit yang terlihat oleh penonton hanyalah wajah, leher dan tangan.
Selain itu, semua terlindung pakaian.
Mereka pakai T-shirts yang lengannya hampir sampai siku. Roknya terjulur melewati betis, bahkan nyaris menyentuh mata kaki.
Seperti yang dipakai petenis kembar Perancis, Suzanne Amblard (1896-1980) dan Blanche Amblard (1896-1974).
Dalam setiap pertandingan, Suzanne maupun Blanche selalu mengenakan kostum yang tadi disebut: T-shirts menutup lengan, dan rok yang memanjang hampir semata kaki.
Tak jarang, mereka pakai cardigan atau pullover, semacam jaket rajut atau sweater. Tentu saja berlengan panjang.
Bukan cuma petenis wanita; pria pun demikian. Sampai awal 1940an, atlet-atlet tenis pria bahkan masih belum terbiasa bercelana pendek. Baik dalam latihan, lebih-lebih ketika bertanding dan ditonton banyak orang.
Tak cukup celana panjang, mereka juga pakai sweater.
Di ajang Wimbledon 1932, satu-satunya petenis yang pakai celana pendek hanyalah Henry Wilfred "Bunny" Austin (1906-2000). Yang lain bercelana panjang semua.
Kembali ke rok petenis wanita.
SUZANNE Lenglen (1899-1938) lewat debutnya di Wimbledon 1919, perlahan mengubah tradisi berpakaian petenis putri.
Saat itu, selain mengenakan T-shirt yang sedikit lebih terbuka, Lenglen juga pakai rok lebih pendek, sampai betis.
Meski, kulit betisnya tetap tidak terlihat oleh penonton. Ia pakai kaus kaki yang panjangnya sampai ke paha.
Melalui ajang tersebut, Lenglen juga melahirkan tren baru. Ia pakai floppy linen atau topi rajut bundar bertahtakan bunga hiasan, yang kemudian ia ganti dengan bandana atau bando.
Gaya Lenglen itu bukan saja ditiru atlet tenis putri lainnya, tapi juga "viral" di kalangan remaja putri Wimbledon dan London.
Fred Simonsson, praktisi tenis lapangan yang menulis untuk situs Tennis Predict, menyebutkan, rok petenis putri terus memendek pasca-1920an.
"Bertambah dekade, tambah pula pendeknya", tulis Simonsson.
Tahun 1950an, rok sudah sampai sedikit di atas lutut. Satu dekade kemudian, atlet-atlet tenis wanita mulai terbiasa mengenakan rok yang pendeknya setengah paha. Kira-kira sama pendeknya dengan rok tenis putri jaman sekarang.
Alasan para petenis wanita pakai rok pendek, tulis Simonsson, karena jenis olahraga ini banyak larinya. Seorang petenis harus berlari kesana kemari untuk memukul bola.
Mengenakan rok panjang dianggap hanya akan menggangu aktivitas ini. Selain, sumpek alias gerah.
WTA, organisasi tenis profesional wanita sedunia, tidak mempermasalahkan model rok tiap-tiap atlet. Asalkan, rok tersebut lebih besar atau lebih longgar (meski sedikit) dari celana dalamnya.[sahrudin]
Tags
Humaniora