PALANGKA RAYA - Hadirnya investor perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan di Kabupaten Lamandau tampaknya memicu konflik agraria sehingga menuai pro dan kontra di tengah masyarakat setempat.
Sebagai contoh, kasus yang mencuat dan sangat viral di medsos dalam akhir-akhir ini terjadi di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau.
Terkait hal itu, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Indonesia Hebat Bersatu (IHB) Provinsi Kalteng menggelar dialog publik.
Kegiatan bertajuk Pro dan Kontra Hutan Adat Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau itu digelar di Aula Hawaii Hotel, Kota Palangka Raya, Senin (7/9/2020) malam.
Ketua Panitia, Ingkit Djaper mengatakan, dialog ini bertujuan untuk menyamakan persepsi antara yang pro dan kontra tentang apa yang terjadi di Kinipan, baik masalah hutan adat maupun keberadaan perkebunan.
Menurut salah satu narasumber dari Deputy Majelis Adat Dayak Nasipnal (MADN), Sipet Hemanto, kasus Kinipan muncul karena kevakuman hukum terkait pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat Adat.
Siapa yang memiliki kewenangan terkait hal itu, menurut mantan Kepala Dinas Kehutanan Kalteng itu menjadi tugas Pemerintah Daerah melalui pembentukan Peraturan Daerah (Perda) dan panitia identifikasi, inventarisasi, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat.
"Kita berharap Pemerintah Kabupaten Lamandau segera membentuk Perda dan Panitia, termasuk mengupayakan pemberdayaan masyarakat adat Kinipan dan Lamandau secara luas," harapnya.
Sipet juga meminta agar kasus Kinipan tidak membuat masyarakat Adat Dayak terbelah, namun tetap bersatu membangun daerah agar lebih maju.
Hal senada dikemukakan oleh Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Simpun mengatakan, agar kasus Agraria tidak terulang lagi, Perda perlindungan masyarakat adat segera disahkan.
"Setelah itu, diikuti dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP). Apabila tidak, maka peraturan dan perundan-undangan yang berlaku yang mengakomodir wilayah hukum adat ini," tegasnya.[metrokalimantan]
Tags
metro