PELAIHARI - Petani mana yang tak kenal ulat grayak atau ulat yang nama ilmiahnya adalah Spodoptera Litura ini sudah sering merepotkan petani. Ulat ini luar biasa ganasnya bila sudah hadir dan menyerang tanaman petani.
Ulat yang bersifat polifag atau pemakan berbagai jenis tanaman pangan ini menjadi momok bagi petani jagung. Pada awal tahun 2020 ini menyerang jagung petani di beberapa daerah.
Bentuk ulatnya mudah dikenali. Warna ulat bervariasi tergantung jenis makanannya dan mempunyai tanda hitam seperti kalung pada lehernya. Ulat yang baru keluar dari telur berkelompok di permukaan daun.
Setelah beberapa hari ulat mulai hidup berpencar. Aktif menyerang pada malam hari, dan sembunyi di siang hari. Itulah sebabnya disebut grayak.
Tanda serangan ulat grayak pada tanaman jagung juga sangat mudah dikenali. Tanaman terserang daun berlubang tak beraturan, titik tumbuh terpotong. Daya serangannya cepat dan luas.
Akibat serangannya, bisa menurunkan produksi secara nyata bahkan bisa gagal sama sekali. Terhadap munculnya hama ini, petani harus waspada. Bila tidak, kegagalan panen akan diderita lagi. Pada musim tanam Oktober 2019 – Maret 2020 saja produksi turun hingga 30 persen.
Oleh karena itu, tidak aneh kalau petani jagung di Desa Jilatan Alur, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Tanah Laut melakukan gerakan pengendalian hama grayak, Kamis (16/4/2020).
Gerakan pengendalian dilakukan oleh kelompok tani (Poktan) Lestari yang diketuai Sarmin. Bersama 10 orang petani lainnya, dengan didampingi oleh POPT, Sabar Narimo mereka melakukan penyemprotan 0,5 hektare tanaman jagung Varietas bisi-18 yang baru berumur 21 hari.
Meskipun hanya 0,5 hektare yang disemprot, namum serangan ulat grayak sudah terlihat pada areal seluas 3 hektare. Potensi serangannya menurut POPT Sabar Narima bisa mencapai 35 hektare.
Banyak cara untuk mengendalikan ulat grayak, tetapi gerakan pengendalian ini dilakukan secara kimiawi dengan pestisida Fenval fenfal, yang diaplikasikan dengan cara penyemprotan.
Sabar menjelaskan, pengendalian secara kimiawi dilakukan karena keadaan serangan yang sudah mengkawatirkan.
"Jadi digunakan alternatif terakhir, karena petani kita tak mau menanggung risiko lebh besar lagi," pungkasnya.[advertorial]
Tags
Ekbis